Banjir Pacitan 2017: Peristiwa yang Menorehkan Trauma (Bagian 1)

Pacitan mengalam banjir terparah pada 2017 yang menelan sejumlah korban jiwa

Banjir Pacitan 2017: Peristiwa yang Menorehkan Trauma (Bagian 1) - Salah satu tanggul yang sungai yang jebol saat banjir 2017 silam. Tanggul tersebut berada di Desa Sirnoboyo, Kecamatan/Kabupaten Pacitan, talud anak sungai Grindulu itu telah dibangun oleh pemerintah, Sabtu (5/1/2020). (Abdul Jalil/Madiunpos.com)

    Madiunpos.com, PACITAN -- Dodik Suko Prasongko, 40, warga Desa Sirnoboyo, Kecamatan Pacitan, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur, masih ingat dahsyatnya bencana banjir yang menerjang desanya pada 27-28 November 2017 silam. Ia pun masih mengingat sesaat sebelum ayahnya, Mislam, menjadi salah satu korban meninggal dunia dalam bencana alam terbesar dalam sejarah Pacitan itu.

    “Saat itu air mulai meninggi dan masuk ke halaman dan rumah. Kemudian saya mengevakuasi anak, istri, dan ibu dengan debog [batang pohon pisang]. Sedangkan ayah saya menunggu di dalam rumah,” ujar Dodik saat ditemui Madiunpos.com, di rumahnya, Sabtu (5/1/2020).

    Setelah mengevakuasi anggota keluarganya di tempat aman, Dodik berencana kembali ke rumah untuk mengevakuasi ayahnya. Namun, karena air semakin tinggi dan kondisi badan juga sudah mulai drop. Pria tersebut kemudian mengurungkan. Ia sempat meminta tolong kepada petugas Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dan Tim SAR untuk menyelamatkan ayahnya.

    Tetapi karena saat itu situasi sangat kacau dan masih banyak warga yang membutuhkan pertolongan, tim sukarelawan tidak menghiraukan permintaannya. Dia berharap saat itu ayahnya bisa menyelamatkan diri dengan naik ke pohon di depan rumah. Namun, nasib berkata lain, ayahnya ditemukan sudah tidak bernyawa di depan rumah.

    “Banjir 2017 lalu itu menjadi pelajaran penting. Selama ini, di sini tidak pernah terjadi bencana sebesar itu. Biasanya ada banjir, tapi tidak setinggi itu dan biasanya cepat surut,” ujarnya.

    Pengalaman menghadapi bencana besar hingga harus menaruhkan nyawa seorang ayah itu menjadi pelajaran penting dalam hidup Dodik. Kini ia selalu waspada setiap datang musim hujan, apalagi cuaca ekstrem seperti sekarang.

    Salah satu yang dilakukannya yaitu dengan menambah satu lantai di rumahnya. Ini menjadi salah satu kesiapannya ketika banjir datang tiba-tiba, keluarganya bisa menyelamatkan diri di lantai dua rumah hingga menunggu tim penyelamat datang.

    Peristiwa banjir besar akhir 2017 yang disebabkan karena siklon tropis Cempaka itu benar-benar membuat trauma keluarga Dodik. Sampai-sampai, ibunya pingsan dan harus opname di rumah sakit begitu kejadian banjir datang lagi pada 2018 lalu.

    “Tahun 2018 ada banjir, tidak terlalu besar. Ibu saya sampai opname di rumah sakit karena depresi dan takut kejadian 2017 terulang,” kata Dodik.

    Warga Dusun Suruhan, Desa Sirnoboyo, Kecamatan Pacitan, Indar Siswoyo, 34, juga mengatakan hal serupa. Bencana banjir besar yang terjadi 2017 benar-benar membuat dampak traumatik. Apalagi Desa Sirnoboyo merupakan salah satu desa yang mengalami kondisi yang cukup parah.

    Indar yang juga seorang sukarelawan bencana itu mengatakan pada banjir dua tahun lalu, tiga orang meninggal dunia di Desa Sirnoboyo.

    Peristiwa banjir besar dua tahun lalu itu menjadi pelajaran berharga bagi masyarakat desa setempat. Kesadaran dan keterlibatan masyarakat dalam upaya pencegahan bencana alam mulai tumbuh. Ini ditandai dengan semakin banyaknya sukarelawan tangguh bencana di Desa Sirnoboyo .

    “Di Desa Sirnoboyo ini jumlah keluarganya ada sekitar 3.500. Sedangkan sukarelawan desa tangguh bencana ada sekitar 30 orang,” kata dia saat ditemui di rumahnya, Sabtu lalu.

    Sukarelawan ini mendapat pelatihan melakukan mitigasi bencana secara berkala. Desa Sirnoboyo termasuk zona merah banjir dan tsunami. Desa ini sangat berdekatan dengan Sungai Grindulu, sungai terbesar di Pacitan. Selain itu, juga hanya berjarak 1-2 km dari bibir pantai Pacitan. Kondisi geografis seperti ini yang membuat desa tersebut kerap diterpa bencana.

    Karena berada di zona merah bencana, kesiapan masyarakat terhadap bencana alam menjadi hal wajib. “Bencana kan tidak bisa kita tolak. Tidak bisa kita hindari. Yang pasti kita harus siap siaga untuk meminimalisasi risiko bencana. Selain itu, kita juga tidak boleh pasrah,” ujar dia. (Bersambung)



    Editor : Kaled Hasby Ashshidiqy

    Get the amazing news right in your inbox

    Berita Terpopuler

    0 Komentar

    Belum ada komentar, jadilah yang pertama untuk menanggapi berita ini.

    Komentar Ditutup.