Ini Penyebab Kinerja Industri Sepatu di Jatim Lesu

Ini Penyebab Kinerja Industri Sepatu di Jatim Lesu Aktivitas industri sepatu kulit rumahan di Ngawi, Senin (29/6/2015). (JIBI/Solopos/Antara/Ari Bowo Sucipto)

    Industri sepatu di Jatim mengalami banyak tekanan.

    Madiunpos.com, SURABAYA – Industri alas kaki atau sepatu di Jawa Timur terus mengalami tekanan. Akibatnya kinerja industri sepatu hingga kuartal III tahun ini turun hingga 35% baik di pasar ekspor maupun domestik.

    Ketua Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Jatim, Winyoto Gunawan mengatakan tekanan itu mulai dari melambatnya ekonomi hingga tingginya upah minimum kota/kabupaten (UMK) yang membuat kalah bersaing dengan industri asing.

    “Pasar memang masih lesu, untuk pasar ekspor melambat 15%-20%, sedangkan pasar lokal turunnya 25%-35%. Ini masalahnya terlalu kompleks,” kata dia di Surabaya, Senin (31/10/2016).

    Winyoto mengatakan selain produksi dan omzet penjualan alas kaki turun, sekitar 7 perusahaan alas kaki di Jatim terutama yang berada di Ring 1 (Sidoarjo, Mojokerto) melakukan relokasi ke Ring II seperti Jombang, Nganjuk, Madiun, dan Ngawi yang memiliki upah minimum yang lebih rendah.

    “Sekitar 3.000 karyawan juga sudah dipindahkan ke kabupaten-kabupaten tersebut. Kalau pun masih ada yang produksi di Sidoarjo itu hanya sedikit, lainnya sudah produksi di sana,” jelasnya.

    Terkait rencana kenaikan upah pekerja tahun depan, katanya, pengusaha sepatu berharap pemerintah mengkaji dan memperhatikan industri padat karya yang menyerap banyak tenaga kerja.

    Selain itu, Winyoto juga mengusulkan agar ada insetif bagi industri padat karya yakni berupa iuran BPJS ditanggung oleh pemerintah, termasuk pemerintah membantu industri lokal dalam membuka pasar ekspor melalui kerja sama Government to Government (G to G) seperti yang dilakukan oleh negara Vietnam dan Kamboja.

    “Kami sempat melakukan studi banding ke Vietnam dan Kamboja yang menjadi pesaing utama kita. Pertama gaji karyawan mereka tidak tinggi seperti di sini, kedua ada kebijakan antar pemerintah G to G misalnya sepatu dari Vietnam dikenai bea 0% untuk bahan kulit ke Amerika dan Eropa, sedangkan produk kita ke Amerika kena 4,5%,” jelas dia.

    Selain itu, tambah Winyoto, sebagian besar bahan baku alas kaki atau sepatu juga harus impor, terutama bahan kulit kerap terkendala diproses karantina. Sementara, negara-negara lain sudah tidak menggunakan proses karantina untuk bahan baku kulit.

    Menurut Winyoto, diskon Pajak Penghasilan (PPh) untuk industri alas kaki atas penghasilan pegawai dari pemberi kerja menjadi 2,5% tarifnya dan bersifat final tidak terlalu memengaruhi pertumbuhan industri alas kaki.

    Namun, justru pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang sudah dikenakan kepada industri atau pabriknya, sering dikenakan lagi kepada konsumen saat barang/sepatu itu sudah berada di toko-toko atau ritel. Hal itu menyebabkan harga alas kaki menjadi lebih mahal dan mempengaruhi daya saing.

    “Kalau perusahaan sudah pasti tahu dan mengikuti aturan pajak, tapi kalau sudah masuk toko ini sebaiknya ritel-ritel juga diperhatikan agar lebih mengenal pajak. Menurut saya sebaiknya pengenaan pajak ini dilakukan sekali pungut atau pajak final,” ungkap dia.



    Editor : Rohmah Ermawati

    Get the amazing news right in your inbox

    Berita Terpopuler

    0 Komentar

    Belum ada komentar, jadilah yang pertama untuk menanggapi berita ini.

    Komentar Ditutup.