Perjalanan Panjang Tembakau di Dusun Temon Ponorogo

Perjalanan Panjang Tembakau di Dusun Temon Ponorogo Petani memberikan penutup berupa daun jati untuk melindungi tanaman tembakau yang baru ditanam dari terik matahari, Sabtu (1/4/2017). (Abdul Jalil/JIBI/Madiunpos.com)

    Tradisi gotong royong di Dusun Temon, Desa Biting berjalan cukup panjang hingga sekarang.

    Madiunpos.com, PONOROGO — Tradisi gotong royong dalam proses penanaman hingga pascapanen tembakau di Dusun Temon, Desa Biting, Kecamatan Badegan, Kabupaten Ponorogo, diyakini setua tanaman tembakau mulai ditanam petani di desa tersebut.

    Tidak ada catatan sejarah dan dokumentasi mengenai tradisi tersebut, hanya mengandalkan ingatan yang terus menerus ditularkan dari generasi ke generasi.

    Ketua Paguyuban Petani Tembakau Dusun Temon, Slamet, mengatakan menurut cerita dari para orang tua, tanaman tembakau sudah dikenal oleh masyarakat Temon sebelum kemerdekaan dan saat penjajah Belanda masih menguasai tanah Jawa. Saat itu pula, tradisi gotong royong dalam proses penanaman tembakau hingga pengelolaan tembakau pascapanen mulai dikenal dan dilakukan petani.

    Slamet menjelaskan tembakau Temon diklaim sebagai salah satu tembakau yang paling enak di tanah Ponorogo. Oleh sebab itu, harga tembakau ini lebih mahal yaitu mencapai Rp60.000 per catok. Catok merupakan ukuran yang digunakan petani tembakau di Dusun Temon yang beratnya sekitar seperempat kilogram.

    Diceritakan Slamet, pada zaman dulu, setiap ladang di Desa Temon selalu ditanami tembakau dan cabai. Dalam pembuatan lahan, petani juga melakukan proses yang tidak biasa yaitu dengan mengolah lahan hingga tujuh kali sebelum ditanami bibit tembakau.

    Proses awal yaitu dengan mencangkul lahan dan kemudian menaburinya dengan pupuk kandang. Setelah itu dibajak lagi menggunakan sapi atau traktor dan ditaburi pupuk kandang lagi hingga tanah menjadi dingin. Jika belum dingin, tanah tersebut kembali dibajak lagi hingga menemukan kondisi tanah yang pas.

    “Tanah yang pas untuk ditanami tembakau yaitu ketika tanahnya sudah dingin. Jadi, setelah dibajak, petani akan memasukkan kaki ke dalam tanah yang sudah dibajak dan ketika terasa dingin, barulah tanah itu dianggap sudah layak ditanami bibit tembakau,” kata Slamet kepada Madiunpos.com di rumahnya, Minggu (26/3/2017).

    Petani mencangkul lahan sebelum menanam tembakau di Dusun Temon, Desa Biting, Kecamatan Badegan, Kabupaten Ponorogo, Sabtu (1/4/2017). (Abdul Jalil/JIBI/Madiunpos.com)
    Petani mencangkul lahan sebelum menanam tembakau di Dusun Temon, Desa Biting, Kecamatan Badegan, Kabupaten Ponorogo, Sabtu (1/4/2017). (Abdul Jalil/JIBI/Madiunpos.com)

    Waktu penanamannya pun sangat diperhatikan yaitu pada sore hari sekitar pukul 16.00 WIB. Ini dilakukan supaya bibit tembakau yang baru ditanam tidak langsung terkena sinar matahari. Dengan demikian, bibit tembakau dapat beradaptasi dengan kondisi tanah sebelum terkena sinar matahari keesokan harinya,

    “Cara itu dianggap bisa membuat kualitas tembakau menjadi bagus. Selain itu, tanah di Dusun Temon juga berbeda dibandingkan tanah dusun lain di Desa Biting. Untuk itu tembakau Temon lebih dikenal dibanding tembakau lain di Ponorogo,” jelas dia.

    Mengenai tradisi gotong royong juga dipercaya dimulai sejak dikenal tanaman tembakau di desa tersebut. Pemilik lahan akan mengundang tetangganya untuk menanam bibit tembakau hingga masa panen dan pascapanen.

    Berdasarkan cerita dari orang tua, kata dia, proses menanam tembakau dilakukan secara gotong royong karena penanamannya harus cepat dan kalau dilakukan dengan membayar tentu hasil panen akan habis untuk membayar tenaga. Begitu juga saat proses panen dan merajang hingga menjemur tembakau, kalau dilakukan dengan membayar pekerja tentu hasil panen tidak akan cukup.

    Tradisi tersebut hingga kini masih terjaga dengan baik, karena memang tembakau masih menjadi komoditas pertanian andalan warga Dusun Temon. “Kalau semuanya dikerjakan dengan membayar orang, tentu hasil panen tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan. Untuk itu cara ini dianggap efisien,” jelas bapak dua anak ini.

    Mayoritas warga Dusun Temon merupakan warga kurang mampu dengan pendidikan rendah. Ada sebanyak 178 petani tembakau di Dusun Temon. Masing-masing petani luas lahannya berbeda-beda. Namun hampir 80% persen lahan di Dusun Temon digunakan untuk menanam tembakau. Luas lahan di Dusun Temon sekitar 100 hektare dan 40% di antaranya merupakan lahan untuk tanaman tembakau. Sedangkan lainnya digunakan untuk permukiman dan lahan palawija.

    Sesepuh di Dusun Temon, Samin, 85, menyampaikan tembakau Temon sudah ada sejak zaman nenek moyang saat masih zaman penjajahan Belanda. Salah satu ciri khas tembakau Temon yang kini sudah hilang yaitu cara pengolahan ladang sebelum ditanami bibit tembakau.

    Pupuk Kandang

    Pengelolaan lahan pada zaman dulu yaitu dengan mencampurkan pupuk kandang berkali-kali supaya lahan semakin subur dan membuat tembakau yang ditanam semakin baik. Namun, dalam perkembangannya pola tanam seperti itu dinggap kurang efektif dan ditinggal oleh petani. Selain itu, pola tanam seperti itu membutuhkan banyak modal dibandingkan pola tanam yang kini dilakukan.

    “Kalau menggunakan pola seperti dahulu itu agak sulit, karena ketersediaan pupuk kandang saat ini juga sulit. Kalau mau dikasih pupuk kimia juga habisnya lebih banyak,” jelas dia.

    Mengenai tradisi gotong royong dalam pengelolaan panen tembakau, ujar Samin, saat ini memang masih bertahan. Meskipun ada beberapa hal yang sudah ditinggalkan petani tembakau di Dusun Temon, seperti soal perajangan daun tembakau yang telah menggunakan mesin dan pengolahan lahan.

    Bagi masyarakat Dusun Temon, kata Slamet, tembakau menjadi penyambung napas dan hidup mereka. Setelah panen dan dikemas, tembakau tersebut pun tidak langsung dijual keseluruhan hanya dijual seperlunya saja. Sebagian tembakau yang tidak dijual disimpan di rumah. Tembakau tersebut sebagai tabungan.

    Maka tak heran, pada 2007, salah satu produsen rokok besar sekelas Sampoerna sempat menjalin kerja sama dengan petani Temon tap kemudian diputus kontraknya oleh petani. Alasannya, harga yang diberikan pabrik kepada petani terlalu rendah dibandingkan harga tembakau Temon saat dijual ke pasar bebas.

    Selain itu, petani tidak bisa lagi menyimpan tembakau tersebut sebagai tabungan karena industri menginginkan seluruh tembakau hasil panen harus dibeli oleh perusahaan.

    “Sampoerna menjali kerja sama hanya setahun, habis itu petani tidak mau melanjutkan kontraknya. Hampir setiap tahun ada perusahaan rokok yang datang ke Temon untuk menawarkan kerja sama, namun selalu ditolak,” terang perangkat Desa Biting tersebut.

    Dia mengaku hasil panennya tahun lalu juga belum dijual dan masih disimpan di rumah. Biasanya tembakau akan dijual ketika memang sedang membutuhkan uang atau harga tembakau sedang membaik.

    Namun, di balik itu semua, kata Slamet, tembakau telah menjadi cerita panjang kehidupan petani di Dusun Temon baik kehidupan perekonomian, sosial, dan tradisi.



    Editor : Rohmah Ermawati

    Get the amazing news right in your inbox

    Berita Terpopuler

    0 Komentar

    Belum ada komentar, jadilah yang pertama untuk menanggapi berita ini.

    Komentar Ditutup.