Tembakau Suburkan Tradisi Gotong Royong di Dusun Temon Ponorogo

Tembakau Suburkan Tradisi Gotong Royong di Dusun Temon Ponorogo Slamet, petani tembakau di Dusun Temon, Desa Biting, Kecamatan Badegang, Kabupaten Ponorogo, menjemur tembakau yang telah dirajang di depan rumahnya, November 2016. (Abdul Jalil/JIBI/Madiunpos.com)

    Tradisi gotong royong di Dusun Temon terbentuk dari tanaman tembakau.

    Madiunpos.com, PONOROGO — Suasana Dusun Temon, Desa Biting, Kecamatan Badegan, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, Minggu (26/3/2017) siang, tampak sepi dan tidak banyak lalu lalang aktivitas warga. Beberapa orang terlihat masih bertahan di bawah terik matahari di ladang sambil mencangkul tanah.

    Dusun Temon, Desa Biting, merupakan desa paling ujung di Kabupaten Ponorogo dan berbatasan langsung dengan Kecamatan Purwantoro, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Ketinggian desa ini sekitar 300-an meter di atas permukaan laut (Mdpl). Dusun Temon berjarak sekitar 45 menit dari pusat kota Ponorogo.

    Seorang pria bernama Sarto, 38, terlihat masuk ke rumah tetangganya yang bernama Mulyanto, 36. Rumah Mulyanto tidak terlalu luas, dinding rumahnya bertembok yang belum dihaluskan menggunakan semen. Lantainya masih berupa tanah yang ketika ada orang menginjak debunya langsung bertebaran ke segala penjuru.

    Kedua pria warga Dusun Temon, Desa Biting, ini terlihat saling berbincang membicarakan hasil panen jagung yang gagal. Tak lama berselang, dua gelas teh panas keluar dari dapur yang dibawa seorang ibu-ibu. Sebuah stoples plastik bening yang berisi tembakau lengkap dengan cengkih serta kertas rokok dikeluarkan Mulyanto untuk menyambut tamunya itu.

    Bergegas kedua pria itu pun langsung mengambil tembakau di toples itu kemudian meletakkannya di kertas dan ditaburi beberapa cengkih. Setelah semua bahan tercampur, barulah tembakau dan cengkih itu dilinting. Saat lintingan rokok itu sudah sempurna, keduanya langsung membakar rokok yang disebut tingwe (linting dewe) itu dengan korek api gas. Dan obrolan mereka pun semakin hangat.

    Saat awak Madiunpos.com tiba di rumah Mulyanto, juga disuguhi dengan rokok bakalan. Di Desa Biting, tradisi menyuguhkan rokok bakalan kepada para tamu, khususnya pria yang merokok, sudah menjadi hal turun temurun. Tradisi tersebut hingga kini masih dilestarikan, meski ada beberapa keluarga muda yang sudah tidak menyediakan rokok bakalan dan menggantinya dengan rokok hasil pabrikan.

    “Kalau semisal saya di rumah sedang tidak ada rokok bakalan, biasanya saya carikan ke tetangga. Tetapi, kalau ada tamu yang doyan rokok, bisa dipastikan sajian itu [rokok bakalan] harus ada,” jelas Mulyanto.

    Obrolan di antara kami bertiga berlanjut ke persoalan tembakau yang menjadi identitas desa tersebut. Dia menuturkan tembakau memang sudah melekat di Desa Biting, khususnya Dusun Temon. Komoditas utama di Dusun Temon adalah tembakau, yang banyak disebut tembakau Temon, ini untuk membedakan tembakau tersebut dengan tembakau lainnya.

    Mulyanto menjelaskan pada saat musim panen tembakau, yaitu mulai Agustus hingga Oktober. Dusun Temon bisa diibaratkan menjadi kampung tembakau yang setiap jengkal lahan akan digunakan untuk mengeringkan tembakau yang telah dirajang dan diletakkan di papan dan lembaran anyaman bambu.

    Aktivitas warga desa setempat akan padat dan penuh karya. Setiap rumah warga akan dipenuhi kegiatan merajang daun tembakau yang baru dipanen dan menjemurnya.

    Saat awak Madiunpos.com berkunjung ke desa tersebut pada bulan Oktober 2016, sepanjang mata memandang melihat rajangan daun tembakau yang dijemur di bawah terik matahari.

    Warga di desa tersebut mulai dari anak-anak hingga dewasa memiliki peran masing-masing saat musim panen tembakau tiba.

    Arisan Kampung

    Sarto menceritakan pada saat musim panen tembakau, hubungan emosional dan sosial antarwarga di desa tersebut semakin terasa. Warga saling membantu untuk mengurus tembakau, mulai dari memetik, merajang, menjemur, hingga membungkusnya.

    Saat musim panen tembakau tiba, biasanya masing-masing orang akan mendengar informasi tembakau milik tetangga mereka sudah siap panen. Tanpa diminta oleh pemilik lahan, sekelompok orang yang terdiri dari sepuluh hingga dua puluh orang berkumpul dan langsung menuju ke lahan tembakau yang hendak dipanen.

    Mereka pun mulai memetik daun tembakau satu per satu dan memasukkannya ke wadah. Selesai memetik daun tembakau, mereka membawanya ke rumah pemilik lahan.

    Hingga proses selanjutnya yaitu penyimpanan tembakau sebelum dirajang. Saat proses perajangan dimulai, pemilik tembakau pun hanya mengumumkannya di acara arisan di kampung.

    “Saiki mbakoku wes mateng, wes wayahe ngrajang. Sesuk nek omahku yo [Sekarang tembakau saya sudah masak, sudah saatnya dirajang. Besok ke rumah saya ya]. Begitu cara warga mengundang warga lainnya untuk membantu merajang tembakau,” kata Sarto kepada Madiunpos.com.

    Biasanya warga mulai merajang tembakau sejak sore hari hingga dini hari. Aktivitas merajang tembakau ini sebagian besar dilakukan kaum laki-laki. Setiap orang pun bisa membantu satu jam, dua jam, atau lima jam, tergantung kesibukan atau ada tidaknya kegiatan lain.

    Saat ada kegiatan merajang, pemilik rumah biasanya menyediakan makanan, camilan, minuman, dan rokok. Makanan berupa nasi beserta lauk dan sayuran disajikan setelah warga selesai melaksanakan proses perajangan. Sedangkan saat proses merajang, pemilik rumah menyuguhkan berbagai camilan seperti kacang rebus, ketela rebus, dan kopi atau teh manis.

    Untuk proses dan biaya pembuatan suguhan dibebankan kepada pemilik rumah dan warga yang membantu hanya bertugas merajang.

    Dalam waktu-waktu tertentu, khususnya saat panen raya, tenaga perajang pun digilir agar seluruh tembakau yang telah masak bisa dirajang sesuai waktunya. Ada yang merajang pada waktu sore, malam, tengah malam, dan dini hari.

    Ketika tembakau di satu rumah telah selesai dirajang, kata Sarto, warga akan beralih ke tembakau milik orang yang sebelumnya juga ikut kegiatan merajang itu. Begitu seterusnya hingga tembakau yang telah dipanen sepenuhnya dirajang.

    Tembakau yang telah dirajang kemudian oleh kaum wanita di desa tersebut dijemur di bawah terik matahari. Penjemuran bisa rampung sehari, dua hari, hingga sepekan, tergantung kondisi cuaca.

    “Kalau menjemur tembakau sudah menjadi tugas ibu-ibu, meski pun terkadang kaum pria juga ikut membantunya. Wadah atau papan berisi rajangan tembakau biasanya dijemur di halaman hingga jalan-jalan kampung,” jelas dia.

    Seluruh kegiatan warga di Dusun Temon, Desa Biting, ini bersifat gotong royong. Artinya, tidak ada uang lelah atau bayaran dari seluruh proses panen dan pascapanen tembakau yang diberikan pemilik tembakau kepada orang-orang yang membantu proses tersebut.

    Tradisi tersebut sudah turun temurun dipraktikkan seluruh warga di desa tersebut. Namun, tradisi gotong royong itu hanya berlaku dalam pertanian tembakau. Sedangkan untuk komoditas pertanian lain, seperti jagung, padi, tidak ada sistem gotong royong itu.

    “Tradisi gotong royong ini hanya berlaku untuk tanaman tembakau saja. Kalau untuk tanaman jagung atau padi, sudah mempekerjakan orang. Mulai proses tanam hingga panen, orang yang membantu diberi bayaran berupa uang,” timpal Mulyanto.

    Tergerus Mesin

    Tradisi gotong royong ini ternyata berimplikasi terhadap kehidupan sosial di desa tersebut. Hampir seluruh kegiatan yang melibatkan banyak orang di desa tersebut selalu dilakukan secara gotong royong. Beberapa hal yang dilakukan secara gotong royong seperti membangun rumah, membangun musala, memperbaiki jalan, membantu di hajatan tetangga, hingga menjenguk orang sakit.

    “Ibaratnya satu sakit, semuanya sakit. Satu orang membangun rumah, semuanya ikut membantu. Rumah saya ini, juga hasil gotong royong. Saya hanya menyediakan material bangunan dan satu tukang, kalau lainnya dikerjakan secara gotong royong,” kata Mulyanto sambil menunjuk rumahnya yang seluruhnya bertembok.

    Setelah masa panen, biasanya setiap pemilik lahan melakukan syukuran berupa kenduren dengan mengundang sejumlah warga. Namun, ritual syukuran ini kebanyakan dilakukan petani yang hasil tembakaunya melimpah. Kenduren ini bertujuan untuk mengucap syukur atas limpahan rizki berupa panen yang melimpah.

    Namun, tradisi gotong royong ini saat ini juga mendapat tantangan zaman yang serba modern. Salah satunya yaitu keberadaan mesin rajang tembakau. Keberadaan mesin ini telah menggantikan aktivitas yang biasanya dilakukan manusia kemudian diganti dengan kekuatan mesin.

    Mulyanto menyampaikan belum banyak petani tembakau di Dusun Temon yang memiliki mesin perajang tembakau itu. Namun, keberadaannya memang sedikit membuat khawatir jika bisa membuat tradisi gotong royong itu luntur.

    Dia mencontohkan satu kuintal daun tembakau biasanya membutuhkan dua puluh orang untuk merajangnya. Namun, ketika sudah diganti dengan mesin hanya membutuhkan dua hingga tenaga yang mengoperasikan mesin untuk merajang satu kuintal tembakau.

    “Ada beberapa tetangga yang sudah menggunakan mesin, tidak lagi mengundang banyak orang untuk merajang tembakaunya. Meskipun dalam proses penjemuran masih harus dilakukan manual dan juga melibatkan banyak orang,” jelas petani tembakau yang memiliki lahan seperempat hektare itu.

    Di Dusun Temon, tembakau selain menjadi perekat kehidupan sosial masyarakat juga menjadi penanda tingkat keakraban warga. Saat orang yang dipandang baik dan dengan tetangga juga baik tidak akan kesulitan untuk mencari orang untuk membantu sebuah pekerjaan. Namun, ketika ada orang yang suka membikin keributan dan tidak dekat dengan tetangga akan kesulitan untuk mencari orang saat proses panen tembakau.

    “Kalau orangnya baik dan juga sering ikut kegiatan dan mmebantu warga lainnya, saat membutuhkan pertolongan akan banyak orang yang menolong. Begitupun sebaliknya,” kata Mulyanto.



    Editor : Rohmah Ermawati

    Get the amazing news right in your inbox

    Berita Terpopuler

    0 Komentar

    Belum ada komentar, jadilah yang pertama untuk menanggapi berita ini.

    Komentar Ditutup.