Jalan Terjal Kawasan Tanpa Rokok di Solo

Jalan Terjal Kawasan Tanpa Rokok di Solo Ilustrasi menghentikan kebiasaan merokok (Healthmeup.com)

    Raperda Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Kota Solo akhirnya melenggang ke Program Legislasi Daerah (Prolegda) 2017. Padahal seharusnya Raperda tersebut disusun pascainisiasi Kota Layak Anak (KLA) pada 2006 atau terlambat satu dekade. Ketiadaan Perda KTR itu pula yang mengganjal Kota Bengawan menembus predikat KLA penuh. Berikut laporan reporter Mariyana Ricky P.D.

    Solopos.com, SOLO -- Jeep berpenumpang tiga pemuda melaju kencang di antara ngarai besar. Tepat di bibir jurang, jeep berhenti. Tiga penumpangnya turun, lalu bergegas menyiapkan papan luncur dan tali. Setelah itu mereka bermanuver ropeswing lincah dan bebas. Adegan berganti dengan anak muda lain memanjat tebing terjal.

    Mereka lalu merambati tali, berbaring di atas jaring lentur yang membentang di tengah gugusan tebing. Kegiatan ekstrem mereka berlanjut. Menggunakan papan luncur sambil melepas bom asap, seorang  anak muda kembali ropeswing. Ia meliuk-liuk di antara ngarai tebing melingkar.

    Petualangan anak muda yang memacu adrenalin itu tayang sembilan puluh detik pada videotron raksasa di Jalan M.T. Haryono, kawasan Manahan Solo. Tayangan itu “memaksa” semua orang yang melintas di kawasan itu untuk menontonnya. Tayangan ini merupakan bagian dari iklan rokok yang diputar 18 jam nonstop.

    Memang, tak ada gambar sebatang rokok pun dalam tayangan itu. Lagu Darude berjudul Sandstorm yang menjadi lagu latar tayangan menelan riuh-rendah suara kendaraan yang melintas di dekatnya. Tak jauh dari layar videotron berukuran lima kali sepuluh meter itu, berdiri kompleks bangunan Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 1 Solo.

    Tayangan video yang mempromosikan rokok itu sebenarnya melanggar Peraturan Pemerintah No.109 tahun 2012 bahwa iklan produk tembakau di media luar ruang tak boleh diletakkan di kawasan tanpa rokok. Tempat kegiatan belajar-mengajar merupakan kawasan yang terlarang untuk promosi produk tembakau.

    Kepala SMP Negeri 1 Solo, Joko Slameto mengaku mengetahui keberadaan videotron tersebut. Kendati begitu, ia tak begitu memperhatikan kontennya. “Kalau ada iklan rokok itu artinya kurang pas karena berada di lingkungan sekolah. Tapi kondisinya kami lebih membentengi dan mengawasi anak agar tidak ikut merokok,” kata dia, Rabu (22/3).

    Ketua Asosiasi Perusahaan dan Praktisi Periklanan Solo (Asppro), Ginda Ferachtriawan menyebut tayangan videotron itu jelas melanggar PP. Selain berada di titik larangan, kontennya yang mirip media penyiaran televisi dinilai menyalahi aturan penayangan. Keberadaannya yang tak jauh dari lingkungan sekolah kontraproduktif dengan pencanangan Solo sebagai Kota Layak Anak (KLA).

    Selain di Kawasan Manahan, videotron serupa juga ada di Jl.Slamet Riyadi, yang izinnya justru Jl.Perintis Kemerdekaan. Menurut Ginda, perusahaan rokok selalu menemukan celah melakukan pemasaran paling efektif, termasuk ranah abu dengan memasang videotron.

    “Saya sendiri mengajak perusahaan iklan untuk memahami etika beriklan di ruang publik termasuk menaati aturan pemerintah,” ungkapnya, Kamis (9/2).

    Sanksi

    Sekretaris Dinas Kesehatan Kota (DKK) Solo, Purwanti mengurai sekolah sebagai tempat proses belajar mengajar juga menjadi salah satu KTR sesuai Perwali No.13/2010. Namun, implementasi Perwali itu bak macan tak bergigi. Sanksi pelanggaran Perwali hanya menjerat pimpinan atau penanggungjawab KTR dan kawasan terbatas merokok (KTM). Pemkot tak memiliki kewenangan menggeret pelakunya mendapatkan sanksi pidana.

    “Perwali bukan hukum positif, tidak sekuat Perda. Karena itu pasca Perwali No.13/2010 diterbitkan, Pemkot mengajukan Raperda Ketertiban Umum (Tibum) yang di dalamnya terdapat aturan sanksi pidana pelanggaran KTR. Tapi, raperda tersebut tak sampai dibahas,” kata dia, Senin (20/2).

    Pasca Raperda Tibum rontok, sambung Purwanti, Pemkot tak lagi mengajukan raperda serupa. Baru pada 2016, wacana Raperda KTR berlanjut.

    Raperda tersebut mengusulkan kawasan tanpa rokok di tujuh tempat yakni fasilitas pelayanan kesehatan, tempat proses belajar mengajar, tempat anak bermain, tempat ibadah, angkutan umum, tempat kerja, dan tempat umum.

    Dalam raperda itu diusulkan sanksi kepada warga yang melanggar mulai dari kurungan selama tiga bulan dan atau denda Rp1 juta. “Di dalam Raperda KTR, kami juga mengusulkan titik larangan iklan dan penjualan rokok. Sebenarnya isinya hampir sama dengan Perwali namun lebih rinci dan ketat karena ada pembentukan satuan petugas (satgas) KTR,” ucapnya.

    Sikap Pemkot

    Aktivis antirokok, Mayor Haristanto, menilai Pemkot tak konsisten menjalankan aturan pengendalian produk tembakau. Lolosnya izin videotron di lingkungan pendidikan menunjukkan bahwa Pemkot abai dan tidak memiliki goodwill. “Patut dicurigai apakah ada kongkalikong yang membuat izin itu lolos,” ucapnya, Selasa (28/2).

    Mayor menyebut selain melanggar aturan mengenai KTR, videotron juga menyalahi Pasal 29 PP No.109/2015. Aturan itu mengamanatkan iklan di media penyiaran hanya dapat ditayangkan setelah pukul 21.30 Wib sampai 05.00 WIB. Meski demikian, dia mengakui pasal di PP tersebut rawan ditafsirkan berbeda. Ada pihak yang menganggap videotron bukanlah media penyiaran.

    Filtra Andy Artha, pemilik titik reklame videotron, menyatakan videotron tersebut telah mengantongi izin dari Pemkot Solo. Andy melalui perusahaan Harno-Ar Advertising memegang kontrak selama tiga tahun sejak 2015 hingga 2018 mendatang. Pemkot Solo menunjuk perusahaannya setelah titik reklame itu tak laku dijual.

    “Titik tersebut sudah dilelang dua kali, tapi tak ada peminat. Akhirnya kami ditunjuk. Dari awal memang yang dijual videotron, bukan baliho atau billboard. Kami langsung mengajukan iklan rokok kepada Kepala Dinas Tata Ruang Kota (DTRK) saat itu, Agus Djoko Witiarso. Tidak ada masalah, pemkot menjamin titik itu bukan termasuk KTR,” ucap Andy.

    Masa Kontrak

    Pria 31 tahun itu mengaku paham dengan regulasi iklan produk tembakau di media luar ruang. Ia sendiri kehilangan belasan titik pasca implementasi aturan itu.

    “Nilai lelang videotron kalau tidak salah Rp700 juta, sedangkan pajak per tahunnya Rp600 juta. Videotron tersebut memiliki nilai investasi Rp1,5 miliar,” jelasnya.

    Andy keberatan videotron itu dianggap melanggar aturan. Terlebih, rumor itu kembali mengemuka setelah Raperda KTR menjadi program legislasi daerah (Prolegda) tahun ini. “Kalau mau dibabat iklannya, saya keberatan. Nilai investasinya miliaran, saya ada beban moral sama klien. Kalau bisa ya diteruskan sampai selesai masa kontrak (2018),” papar dia.

    Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang Kota (DPUTRK) Solo, Endah Sitaresmi, mengaku memberi izin ihwal pemasangan videotron di Jl. Mt. Haryono. Namun, perihal muatan di dalamnya masuk ranah Badan Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPPKA).

    “Untuk konten BPPKA, saya hanya izin bangunannya,” tulis Sita, lewat layanan perpesanan Whatsapp kepada Solopos.com, Kamis (2/3).

    Kepala (BPPKA) Solo, Yosca Herman Sudrajat, menolak disebut mengurusi perihal konten reklame. Namun, ia menyebut Jl.Mt Haryono dan Jl.Perintis Kemerdekaan tidak termasuk white area atau lokasi yang harus steril dari iklan rokok. Atas dasar itulah izin videotron tersebut lolos.

    Izin, kata dia, pada 2015 dikeluarkan oleh Dinas Pekerjaan Umum (DPU) dan Dinas Tata Ruang Kota (DTRK). Sedangkan Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Aset Daerah (DP2AD) bertugas menarik pajak dan retribusi.

    “DPU mengeluarkan izin pemasangan, DTRK itu soal letak atau titiknya, lalu pajaknya masuk via DP2AD. Nah, kalau sekarang DPU sudah melebur bersama DTRK jadi DPUTRK, DP2AD menjadi BPPKA,” tutur Yosca, Selasa (28/2).

    Yosca mengakui iklan rokok menyumbang pajak reklame paling besar. Dua videotron yang memuat konten iklan rokok masing-masing membayar pajak senilai Rp200 jutaan per tahun. Target pendapatan asli daerah (PAD) dari pajak reklame sendiri mencapai Rp8,5 miliar per tahun.

    “Kalau soal konten itu DPUTRK, kami hanya menarik pajak. Tapi yang jelas itu bukan white area. Kami sendiri punya 900 wajib pajak untuk reklame,” ucap dia.

    TIMELINE KTR SOLO:
    2006 Solo ditetapkan menjadi rintisan Kota Layak Anak (KLA)
    2007 – 2009 Tidak ada pembahasan Kawasan Tanpa Asap Rokok
    2010 Peraturan Wali Kota (Perwali) No 13/2010 tentang kawasan tanpa rokok dan kawasan terbatas merokok diterbitkan
    2011 Raperda Ketertiban Umum dibahas di tingkat eksekutif, tidak sampai ke legislatif
    2012 – 2017 Kota Solo gagal raih predikat KLA Penuh
    2017 Raperda Kawasan Tanpa Rokok dan Terbatas Merokok menjadi Program Legislasi Daerah

    Riset Kesehatan Dasar Nasional (RISKESDAS, 2013) menyebutkan jumlah perokok penduduk Indonesia usia 15 tahun keatas masih belum terjadi penurunan dan cenderung meningkat.

    Riskesdas 2007 sebesar 34,2%
    Riskesdas 2010 sebesar 34,7%
    Riskesdas 2013 menjadi 36,3%.
    Rerata proporsi perokok setiap hari di Provinsi Jawa Tengah sebesar 22,9% dan perokok kadang-kadang sebesar 5,3%.



    Editor : Rini Yustiningsih

    Get the amazing news right in your inbox

    Berita Terpopuler

    0 Komentar

    Belum ada komentar, jadilah yang pertama untuk menanggapi berita ini.

    Komentar Ditutup.