WADUK TUKUL PACITAN : Terpaksa Pindah, Begini Curhat Warga Karanggede soal Waduk Tukul

WADUK TUKUL PACITAN : Terpaksa Pindah, Begini Curhat Warga Karanggede soal Waduk Tukul Seorang warga Desa Karanggede, Kecamatan Arjosari, Pacitan, yang terdampak pembangunan Waduk Tukul menandatangani berita acara penyerahan sertifikat tanah, Jumat (10/6/2016). (Abdul Jalil/JIBI/Madiunpos.com)

    Waduk Tukul Pacitan, warga Desa Karanggede yang terdampak pembangunan waduk terpaksa meninggalkan tanah leluhur.

    Madiunpos.com, PACITAN — Sebanyak 155 keluarga dan pemilik sawah di Desa Karanggede, Kecamatan Arjosari, Pacitan, terpaksa harus meninggalkan tanah leluhur yang telah mereka tempati sejak puluhan tahun silam.

    Tak kurang 700 jiwa harus pindah tempat tinggal karena kampung mereka akan ditenggelamkan dan digunakan untuk pembangunan Waduk Tukul.

    Koordinator warga Desa Karanggede yang terdampak proyek pembangunan Waduk Tukul, Jumikan, mengatakan keluarga yang terdampak pembagunan Waduk Tukul tinggal di tiga RW dan 11 RT.

    Jumikan menceritakan warga dipaksa untuk meninggalkan tanah kelahiran dan tanah leluhur yang telah ditinggali selama puluhan.

    Bagi warga, kata dia, tanah tersebut merupakan tempat tinggal dan tempat kehidupan. Ada banyak kenangan dan tradisi yang harus ditinggalkan setelah ada proyek pembangunan waduk itu.

    “Kami dengan terpaksa menerima untuk pergi dari tanah leluhur. Kami sudah lelah bentrok dengan pemerintah. Toh, waduk itu juga akan bermanfaat bagi kepentingan umum. Tetapi, kenangan dan apa yang ada di kampung itu tidak akan terlupakan,” jelas dia saat berbincang dengan Madiunpos.com, Jumat (10/6/2016).

    Dia menceritakan di kampung tersebut tidak hanya untuk tempat tinggal, tetapi juga ada puluhan hektare ladang dan sawah milik warga. Selain itu, di lokasi yang akan digusur juga ada lima tempat permakaman umum (TPU) yang menjadi makam para leluruh dan tetua kampung setempat.

    “Saya kurang tahu, apakah makam tersebut akan dipindah atau tidak, belum ada pembahasan dengan pemerintah. Yang pasti ada ribuan jasad yang dimakamkan di lima TPU itu,” tegas dia.

    Menurut dia, saat ini warga masih kebingungan mencari tempat tinggal baru di luar Desa Karanggede. Sebagian besar warga terdampak ingin bertempat tinggal di dekat Desa Karanggede.

    Namun, hingga kini mereka juga belum ada pandangan tempat tinggal pengganti. Padahal setelah Lebaran nanti, warga harus angkat kaki dari kampung mereka.

    Bagi dia, kampung tersebut sudah membentuk berbagai aturan dan adat istiadat yang kental. Selain itu, kerukunan antarwarga juga sudah terjalin dengan apik, sehingga warga merasa tidak tega meninggalkan tradisi itu.

    Di tempat baru, kata dia, belum tentu menemukan kondisi sosial yang serupa yang ada di kampung lama.

    “Budaya gotong royong di kampung kami masih kuat dan kondisi lingkungan juga sangat nyaman. Saya tidak yakin mendapatkan tempat yang setara dengan kampung itu,” terang dia.

    Jumikan menandaskan penggusuran itu juga berpengaruh pada pekerjaan warga. Selama ini warga setempat bekerja sebagai petani. Ketika pindah di tempat lain dan tidak memiliki sawah, warga tidak tahu akan bekerja apa. Warga kampung juga minim keahlian, sehingga sulit bersaing di kehidupan daerah lain.

    Warga terdampak pembangunan Waduk Tukul, Wiwik, 40, mengatakan mendapatkan uang ganti rugi senilai Rp500 juta untuk dua hektare sawahnya.

    Dia mengakui harga tersebut lebih tinggi dibandingkan harga pada umumnya. Tetapi, dia tidak memungkiri merasa kehilangan tanah yang sudah menjadi warisan orang tua akan ditinggalkan.

    “Mau bagaimana lagi, itu sudah kebijakan pemerintah. Kami hanya berharap setelah pembayaran ganti rugi bisa mencari tanah yang lebih baik untuk menyambung hidup kami,” jelas dia.



    Editor : Rohmah Ermawati

    Get the amazing news right in your inbox

    Berita Terpopuler

    0 Komentar

    Belum ada komentar, jadilah yang pertama untuk menanggapi berita ini.

    Komentar Ditutup.