INDUSTRI GULA : PTPN XI Coba Pasarkan Gula Tanpa Lelang

INDUSTRI GULA : PTPN XI Coba Pasarkan Gula Tanpa Lelang Ilustrasi PT Perkebunan Nusantara XI (ptpn-11.com)

    Industri gula di Jatim tak lagi andalkan penjualan dengan lelang demi mendongkrak laba.

    Madiunpos.com, SURABAYA — PT Perkebunan Nusantara XI (Persero) mencoba sederet strategi baru untuk memasarkan gula kristal putih produksi pabrik-pabrik mereka selain melalui jalur lelang. Langkah itu dilakukan pelaku industri gula Jatim tersebut untuk memperbaiki kinerja setelah 2014 lalu menorehkan kerugian hingga Rp192,5 miliar.

    Salah satu langkah pemasaran tanpa lelang yang coba dirintis tahun 2015 ini oleh PTPN XI adalah memasarkan gula kristal putih (GKP) langsung ke industri makanan dan minuman (mamin) skala besar. Langkah lain yang bakal dicoba pelaku industri gula Jatim itu adalah membuka depo di Indonesia Timur untuk skala menengah, dan menyasar ritel untuk skala keci.

    “Citra PTPN XI yang hanya bisa menjual melalui lelang sudah saatnya dibangun ulang dengan membentuk brand image. Kami sudah punya merek Gupalas, tapi belum optimal membangun brand,” jelas Direktur SDM PTPN XI M. Cholidi kepada Jaringan Informasi Bisnis Indonesia (JIBI), Jumat (12/4/2015).

    Selama ini, BUMN pergulaan yang memiliki 16 pabrik gula (PG) itu mengandalkan harga jual yang tinggi dari gula premium produksi PG Semboro di Jember. Ke depannya, PG lain seperti Asembagus dan Pradjekan diharapkan dapat merebut sebagian kecil dari pangsa ritel.

    “Bisa masuk dan merebut 10% dari [pangsa] pasar itu sudah bagus. Kami sudah benar-benar mulai membidik segmen ini, karena [BUMN pergulaan lain] sudah mulai bergerak ke [pasar ritel],” imbuh Cholidi, yang direktoratnya juga membawahi Divisi Pemasaran.

    Margin Laba Kecil
    Kepala Divisi Pemasaran PTPN XI Anang Toyum mengungkapkan selama ini segmen ritel yang dibidik perusahaannya melalui brand Gupalas hanya berkapasitas 2.000-3.000 ton. Namun, selisih harganya bisa mencapai Rp500-Rp600/kg dibanding harga lelang.

    Sebagai gambaran, jika rerata GKP yang diproduksi PG Semboro, PG Asembagus, dan PG Djatiroto masing-masing adalah 100.000 ton, dengan selisih harga hanya Rp300/kg saja, keuntungan yang ditorehkan perusahaan bisa mencapai Rp30 miliar.

    “Gula itu margin labanya kecil, tapi kuantitasnya besar. Makanya, pedagang gula berani melepas ke pasar dengan selisih hanya Rp100/kg, tetapi jumlahnya 5.000 ton. Itu strategi untuk masuk ke pasar ritel,” jelasnya.

    Tiga Rencana

    Pada saat bersamaan, PTPN XI juga memiliki 3 rencana pemasaran yang baru pertama kali diterapkan BUMN pergulaan di Tanah Air. Pertama, langsung memenetrasi konsumen end-user, yaitu industri mamin.

    Anang menyebut saat ini sudah ada 2 industri mamin multinasional—yang satu berbasis makanan ringan olahan dan lainnya penyedap rasa—yang sudah menggunakan gula premium PG Asembagus sebagai pengganti gula rafinasi untuk bahan baku.

    “[Menjual ke] Industri mamin itu ada plus minusnya. Plusnya, kami ada jaminan penjualan. Minusnya, mereka hanya mau dalam jumlah besar di atas 10.000 ton, jadi seperti forward sale yang risikonya lebih tinggi.”

    Sejauh ini, PTPN XI sudah mampu memenuhi permintaan gula premium sekitar 25.000 ton untuk kedua industri mamin tersebut. Tahun ini, ungkap Anang, akan ada satu pabrik mamin besar lagi yang akan meneken kontrak dengan PTPN XI.

    Buka Depo
    Strategi kedua adalah membuka depo di Bali dan Lombok setelah musim giling pada Juli, dengan pangsa pasar sekitar 2.000-3.000 ton. Gula yang dipasok akan didatangkan dari PG Asembagus dan PG Pradjekan yang lokasinya paling dekat dengan kedua provinsi tersebut.

    “Kami mau mencari rekanan yang sudah punya pasar di sana. Jadi kami hanya mengirim gula, nanti biaya operasional dia yang mengeluarkan, dan margin labanya dibagi dua. Pasar untuk Bali kira-kira sekitar Rp500/kg di atas HPP,” ungkap Anang.

    Gula yang dijual melalui depo tersebut nantinya akan didistribusikan ke pengguna rumah tangga, UKM mamin, pabrik, hotel, dan pasar. Selain itu, penetrasi ke Bali dan Nusa Tenggara Barat ditujukan untuk menggeser pasar gula rafinasi di kedua provinsi tersebut.

    Pasok Peritel
    Ketiga, memenetrasi pasar ritel melalui kerja sama dengan salah satu perusahaan ritel terbesar di Indoensia. Hanya saja, daya pasoknya terbatas di kawasan Jember saja atau dekat dengan PG Semboro.

    “Gula ritel itu kontribusi margin labanya ke perusahaan kecil. Paling hanya sekitar 5%-10%. Namun, yang hendak kami raih sebenarnya bukan itu, tapi brand image-nya. Jika merek dagang kami diakui, mau tidak mau PG lain harus menyesuaikan standarnya.”

    Dia mengungkapkan sebenarnya masih ada pangsa pasar ekspor GKP ke Timor Leste. Namun, selama ini belum ada pelaku industri gula Jatim—tak terkecuali BUMN pergulaan—yang mencobanya, karena tidak berpengalaman dan tidak memiliki izin ekspor.

    “Itu pasar menarik. Harga gula di sana US$1,8/kg. Hanya saja, BUMN pergulaan bukan eksportir, sehingga kami butuh menggandeng agen yang punya sertifikasi ekspor. Pasarnya sudah ada sebenarnya.”



    Editor : Rahmat Wibisono

    Get the amazing news right in your inbox

    Berita Terpopuler

    1 Komentar

    Belum ada komentar, jadilah yang pertama untuk menanggapi berita ini.

    Komentar Ditutup.