Menjaga Ekosistem Lewat Pertanian Organik di Mojokerto (Bagian 2)

Menjaga Ekosistem Lewat Pertanian Organik di Mojokerto (Bagian 2) Maya Stolastika Boleng, petani muda penggerak pertanian organik, Minggu (22/12/2019).

    Solopos.com, MOJOKERTO -- Selama ini salah satu yang dikeluhkan para petani yakni murahnya harga jual hasil panen ke tengkulak. Padahal harga beli konsumen biasanya bisa berkali-kali lipat dari harga jual petani. Rantai distribusi yang tidak sehat ini menjadi momok bagi petani pada saat masa panen.

    Maya sendiri pernah mengalami pahitnya menjadi korban permainan harga di pasaran. Sebelum terjun memberdayakan para petani di Desa Claket, Maya juga sempat menjadi petani sayuran di desa tersebut.

    Pada tahun 2008, saat itu dirinya masih semester enam di jurusan Sastra Inggris Unesa. Ia bersama empat temannya yaitu Herwita, Maharani, Redzania, dan Mayang, mengumpulkan uang dari hasil berjualan pulsa dan menjadi guru bimbingan belajar. Setelah uang terkumpul, akhirnya lima sekawan itu memutuskan berinvestasi di bidang pertanian organik.

    Mereka menyewa lahan seluas 1 hektare di Desa Claket. Lantaran harus melanjutkan kuliah, mereka memperkerjakan buruh tani untuk mengelola kebun.

    Hingga akhirnya masa panen tiba. Dari 1 hektare kebun itu, hasilnya mencapai setengah ton sayur-sayuran organik. Mereka pun membawa hasil panen itu ke Pasar Induk Surabaya. Sesampainya di pasar, setengah ton sayuran itu pun dibeli dengan harga murah oleh tengkulak. Maya mengingat harga sayur organik tersebut hanya dihargai Rp500/kg. Dengan berbagai pertimbangan, sayuran organik yang diangkut menggunakan kendaraan pikap itu diserahkan kepada tengkulak.

    “Saya saat itu memang awam soal penjualan hasil panen. Saya yakin di pasar ada mafia yang bekerja untuk mempermainkan harga. Jadi petani menjual hasil panen sangat murah, kemudian di pasar dijual dengan harga tinggi,” ujar Maya.

    Dari pengalaman tersebut, ia ingin memutus rantai distribusi hasil panen yang tidak adil itu. Melalui kemajuan era teknologi, Maya pun tidak mau ketinggalan memanfaatkan sosial media untuk memasarkan hasil panen para petani bimbingannya.

    Maya kemudian mendirikan Twelve’s Organic sebagai tempat berjualan seluruh hasil panen di tiga kelompok tani organik bimbingannya. Jadi, seluruh hasil panen dijual oleh tim Twelve’s Organic. Petani hanya bekerja sampai sortir hasil panen. Sedangkan untuk packaging hingga distribusi sayuran sampai ke tangan konsumen adalah tugas tim pemasaran. Untuk membantu dalam menangani pendistribusian produk hingga pemasaran, Maya dibantu sepuluh petani muda untuk mengelola Twelve’s Organic.

    Penjualan produk sayur organik ini dilakukan secara langsung ke konsumen tanpa perantara dengan memanfaatkan aplikasi perpesanan WhatsApp. Saat ini ada sekitar 90 konsumen yang siap membeli sayuran organik dari Twelve’s Organic. Selain itu, juga menyuplai kebutuhan sayuran organik dua supermarket dan dua restoran di Surabaya.

    “Kami punya list konsumen tetap. Sebagian besar orang Surabaya. Jadi saat panen, kami akan mengirimkan daftar sayuran yang dipanen melalui WA. Kemudian, konsumen akan memesan sayuran organik itu,” jelas Maya.

    Waktu panen sayuran yaitu dua kali dalam sepekan. Dalam sekali panen rata-rata bisa mendapatkan 20 kg berbagai jenis sayuran. Karena hasil panen terbatas, untuk penjualan ini pun menerapkan prinsip keadilan. Jadi seluruh barang yang dijual tidak boleh diborong hanya satu orang konsumen saja. Tetapi akan dibagi kepada seluruh konsumen yang memesan.

    Untuk harga sayuran yang dijual memang lebih mahal dibandingkan harga jual sayuran dengan pola tanam konvensional. Semisal harga 1 kg sayuran organik seharga Rp30.000, untuk sayur dengan pola tanam konvensional hanya Rp10.000 per kg.

    Dengan sistem penjualan seperti ini, petani tidak akan pernah dirugikan karena harga bisa dikontrol dan disesuaikan dengan biaya perawatan dan modal awal. Hasil penjualan itu nantinya akan diberikan kepada petani penggarap sebulan sekali. Untuk nilainya berkisar antara Rp400.000 sampai Rp1.000.000 per bulan per petani.

    “Masing-masing petani penghasilannya berbeda-beda tergantung banyaknya hasil panen. Selain bisa menjualnya, petani juga tidak perlu membeli sayur untuk dikonsumsi di rumah,” katanya.

    Seorang petani anggota Kelompok Tani Madani, Purwati, 42, mengaku telah menerima manfaat yang cukup besar setelah mengikuti kelompok tani ini. Selain mendapatkan ilmu tentang pertanian organik, juga mendapatkan kesempatan mencari uang tambahan dari hasil berkebun.

    Menurutnya, uang yang didapatkan dari menjual hasiln panen sayur organik lumayan untuk membantu perekonomian keluarga. “Uangnya bisa untuk tambahan belanja dan memberikan uang saku kepada anak sekolah,” ujar Purwati.

    Warga Desa Claket ini menyampaikan dirinya juga telah mempraktekkan ilmu bertanam organik ini secara mandiri di rumahnya. Sejumlah sayuran berhasil ditanam di pekarangan rumah. Cara ini dilakukan supaya para tetangga mengikuti jejaknya bertani organik.

    Selain menjual secara langsung kepada konsumen, Maya juga membuka sistem penjualan berkonsep garden fresh market atau memetik sayur sendiri di kebun. Konsumen bisa langsung mendatangi kebun di bawah Twelve’s Organic dan memetik sayuran sesuka hati. Setelah itu, sayur yang sudah dipetik dibersihkan dan ditimbang serta dibayar.

    Konsep penjualan seperti ini ternyata menarik perhatian konsumen, karena konsumen bisa berkebun sekaligus menikmati sayuran organik yang menyehatkan. Kini, kebun organik di Twelve’s Organic juga menjadi jujukan orang yang ingin belajar tentang pertanian organik. Selain itu, mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi juga banyak yang magang di kebun tersebut.

    Kualitas Terjamin

    Setiap sayuran dan buah-buahan yang ditanam di tiga kebun Twelev’s Organic dipastikan benar-benar produk organik. Kualitas tanaman organik tersbeut secara rutin dipantau oleh petugas partisipatif dari Penjaminan Mutu Organik Indonesia (Pamor). Petugas penjamin kualitas tanaman organik rutin melakukan inspeksi organik di kebun-kebun sayuran organik.

    Inspeksi organik, kata Maya, dilakukan untuk memberikan jaminan bahwa sayuran tersebut benar-benar organik. Hal itu dilihat dari pola tanam dan pemberian pupuk. Pamor merupakan sistem penjaminan yang mendukung dan mendorong kelompok tani untuk meningkatkan hal-hal terkait praktik pertanian organik.

    “Melalui Pamor ini, petani bisa mendapatkan penjaminan mutu organik tanpa mengeluarkan biaya yang cukup banyak. Karena dalam Pamor ini petani akan mendapatkan sertifkasi penjaminan organik,” kata dia.

    Petugas inspeksi organik partisipatif Pamor, Septian Eko Sasmito, mengatakan ada sederet pertanyaan yang harus dijawab oleh para petani organik. Petani harus menjawab pertanyaan-pertanyaan ini sesuai dengan apa yang telah dilakukan dalam merawat tanaman organik mereka.

    “Ini untuk menjamin bahwa sayuran yang ditanam para petani ini benar-benar organik dan tidak sekadar klaim,” ujarnya.



    Editor : Adib M Asfar

    Get the amazing news right in your inbox

    Berita Terpopuler

    0 Komentar

    Belum ada komentar, jadilah yang pertama untuk menanggapi berita ini.

    Komentar Ditutup.