Napak Tilas Sejarah Madura dalam Empat Zaman
Mungkin orang selama ini mengenal Madura melalui kuliner satai dan tradisi karapan sapi.
Madiunpos.com, MADURA -- Mungkin orang selama ini mengenal Madura melalui kuliner satai dan tradisi karapan sapi. Di balik itu semua Madura menyimpan sejarah panjang hingga menjadi entitas yang kini dilihat banyak orang.
Di pulau itu, Sumenep menjadi bagian yang penting dan tak terpisahkan. Dikutip dari Infopublik.id, Sumenep sebagai pusat pemerintahan mengalami banyak pasang surut zaman.
Dalam konteks kebudayaan, Sumenep paling tidak mengalami empat aman perubahan yakni zaman keraton (feodal) dan keraton dalam bayang-bayang kolonialisme (neo feodal). Sumenep juga menjadi saksi saat runtuhnya sistem keraton pada akhir abad ke-19 serta era kedaulatan RI (1945).
Zaman keraton jilid pertama, misalnya, ditandai dengan duduknya Aria Wiraraja sebagai adipati Madura yang berkedudukan di Sumenep. Peristiwa ini terjadi pada 31 Oktober 1269.
Viral!!! Sila Keempat Pancasila Digambarkan dengan Logo PDIP
Sumenep sendiri kala itu merupakan bagian dari Kerajaan Singhasari. Kerajaan ini lalu runtuh dan muncullah Kerajaan Majapahit pada 1393.
Sumenep sendiri memiliki peran penting dalam kelahiran Majapahit. Saat itu, Dyah Wijaya yang juga menantu raja terakhir Singhasari sekaligus keturunan laki-laki Ken Angrok berhasil merebut mahkota Wangsa Rajasa berkat dukungan Wiraja alias Banyak Wide.
Sebagai imbalannya, Sumenep mendapatkan otoritas khusus. Wiraraja sendiri mendapatkan separuh wilayah Majapahit dengan pusatnya di Lumajang. Sedangkan, Sumenep dihadiahkan kepada adik Wiraraja, Aria Bangah.
Zaman berganti, Sumenep terus berkembang tanpa bisa melepaskan dari pengaruh Jawa termasuk pada era Majapahit dan Demak (1478). Sumenep juga sempat memberontak atas hegemoni Jawa pada dekade kedua paruh pertama abad ke-17. Hasilnya, Sumenep dan Madura secara keseluruhan menjadi wilayah kekuasaan Mataram.
231 Pejabat di Pemkot Madiun Dimutasi, Pelantikannya Mulai Malam Ini
Pada zaman feodal ini, raja adalah undang-undang. Sabda raja merupakan perintah sekaligus larangan. Sementara itu, komunikasi antara raja dan rakyatnya diatur dalam bentuk bahasa krama inggil. Di Sumenep, model ini dikenal dengan ondagan dan ondagga bhasa (tangga bahasa).
Pengaruh Kolonialisme
Tak cukup hanya di situ, kolonialisme yang diusung Belanda turut mempengaruhi perjalanan sejarah Madura. Saat itu, muncul tokoh Trunojoyo yang dikenal sebagai Pangeran Madura pada pertengah abad ke-17.
Trunojoyo berhasil merebut simpati rakyat untuk menggalang kekuatan perlawanan. Ia menggambarkan perjuangan melawan penjajah dengan analogi memerangi bangsa kafir.
Belum Tahu Hasil Tes Swab, Cawabup Sidoarjo Diusung PDIP-PAN Jalani Isolasi
Meski komunikasi yang dibangun Trunojoyo dengan rakyatnya terlihat lebih cair, hal ini tak serta merta menghilangkan tradisi krama inggil di masyarakat.
Sayangnya, kedatangan Belanda perlahan mulai mempersulit penguasa Sumenep dan Madura. Sebab, Raja Jawa atau Mataram terjebak dalam perjanjian-perjanjian politik dengan Belanda. Akibatnya, semangat perlawanan yang dihembuskan Trunojoyo lambat laun kian meredup.
Belanda dengan serikat dagangnya VOC mulai mencampuri pemerintahan di Sumenep dan Madura pada umumnya. Puncaknya terjadi pada 1880-an ketika Belanda menghapus sistem keraton. Penguasa lokal diubah ibarat pegawai yang digaji.
Kemudian, perlahan-lahan struktur pemerintahan dirombak hingga kini masuk pada era kedaulatan RI.
Editor : Cahyadi Kurniawan
Baca Juga
- Video Pria Salat Berjemaah Sambil Main HP di Sampang Viral
- Dituduh Santet Tetangga, Warga Madura Ini Lakukan Sumpah Pocong
- Tabrak Pohon, Mobil Agya Hangus Terbakar di Dekat Jembatan Suramadu
- Alhamdulillah Selamat, 6 ABK Terombang-ambing 2 Hari di Laut
- #Kamis Misteri: Reng Tua Malem, Sosok Hantu Pesugihan di Madura
0 Komentar
Belum ada komentar, jadilah yang pertama untuk menanggapi berita ini.