PENDIDIKAN PONOROGO : SLB Krida Wiyata, Secercah Harapan Bagi Difabel di Ponorogo Selatan

PENDIDIKAN PONOROGO : SLB Krida Wiyata, Secercah Harapan Bagi Difabel di Ponorogo Selatan Tiga siswa SLB Krida Wiyata, Slahung, Ponorogo, belajar kerajinan tangan bersama pengajar di ruang kelas sekolah setempat, Kamis (2/2/2017). (Abdul Jalil/JIBI/Madiunpos.com)

    Pendidikan Ponorogo, SLB Krida Wiyata menjadi satu-satunya sekolah bagi difabel di Ponorogo bagian selatan.

    Madiunpos.com, PONOROGO -- Sekolah Luar Biasa Krida Wiyata menjadi satu-satunya sekolah khusus bagi difabel di wilayah Ponorogo bagian selatan. Sekolah yang dibangun berdasarkan kesadaran dan keprihatinan beberapa orang itu menempati gedung kosong milik Pemerintah Desa Slahung, Kecamatan Slahung, Ponorogo.

    Gedung yang digunakan untuk proses belajar mengajar di SLB Krida Wiyata ini merupakan bekas kantor UPTD Pendidikan Kecamatan Slahung. Karena tidak dipakai, sejak 2016 awal bangunan tersebut digunakan sebagai tempat mendidik dan belajar anak-anak difabel di wilayah Ponorogo bagian selatan.

    Sekolah yang baru dirintis sejak setahun lalu itu tidak memiliki perlengkapan belajar mengajar selayaknya sekolah pada umumnya, tidak ada meja, tidak ada papan tulis, dan sekolah itu hanya terdiri dari satu ruangan. Ruangan yang digunakan untuk belajar siswa dan juga untuk guru, menjadi satu dan tidak ada sekat.

    Sekolah ini berdiri atas inisiatif warga Ponorogo yang melihat penyandang disabilitas di wilayah Ponorogo bagian selatan tidak begitu diperhatikan pemerintah. Selama ini tidak ada sekolah luar biasa yang dibangun di wilayah ini. Padahal, kaum difabel di beberapa kecamatan di Ponorogo bagian selatan cukup banyak.

    "Saya prihatin dengan kondisi kaum difabel di beberapa kecamatan di Ponorogo selatan yang kurang diperhatikan. Kalau kaum difabel di wilayah ini mau sekolah ya harus ke kota. Atas dasar ini, kemudian saya bersama beberapa orang guru berinisiatif untuk mendirikan sekolah bagi kaum difabel ini," kata Wakil Sekolah Luar Biasa Krida Miyata, Amar Maruf, 30, kepada Madiunpos.com di ruang kerjanya, Kamis (2/2/2017).

    Amar menceritakan pendirian sekolah tersebut dipelopori beberapa orang, termasuk dirinya yang gelisah terhadap nasib anak-anak difabel yang tidak diperhatikan orang tua dan pemerintah. Selain itu, beberapa anak difabel juga dikeluarkan dari sekolah umum karena dianggap tidak mampu mengikuti pelajaran yang dipelajari.

    Dengan niat yang kuat, dia beserta tiga orang lainnya mulai bergerilya dari rumah ke rumah dengan mengajak anak difabel untuk mau belajar di SLB Krida Wiyata. Tidak gampang untuk meyakinkan orang tua untuk mengikhlaskan anaknya supaya dididik dan diberi keterampilan untuk bekal hidupnya di masa mendatang.

    Sebagain orang tua justru enggan anaknya itu bersekolah di SLB, karena faktor malu. Beberapa orang tua justru lebih bangga ketika anaknya yang difabel bersekolah di sekolah umum. Padahal di sekolah umum, anak-anak difabel belum tentu mendapatkan pelajaran yang sesuai kebutuhannya.

    Para pencetus SLB Krida Wiyata juga kebingungan mencari tempat untuk proses belajar mengajar. Dengan kunci nekat, dia mulai mencari gedung pemerintah yang tidak dipakai. Beberapa kali dia pun dipingpong oleh pemerintah desa mengenai persoalan tempat ini.

    Akhirnya, pemerintah Desa Slahung mengizinkan SLB Krida Wiyata untuk menggunakan bekas gedung UPTD Pendidikan Kecamatan Slahung. "Kami mendirikan SLB Krida Wiyata ini hanya modal nekat dan niat tulus membantu. Kami tidak mempunyai uang untuk membangun gedung," ujar dia.

    Dari hasil pendataan yang dilakukan timnya, ada sebanyak 70 anak difabel di wilayah Ponorogo bagian selatan yang terdaftar sebagai siswa di SLB Krida Wiyata. Namun, dalam proses belajar mengajar yang rutin ikut belajar yaitu hanya sekitar tujuh hingga sepuluh anak.

    "Sebagian memang rumahnya jauh-jauh, ada yang di daerah hutan. Namun yang rutin berangkat ya sekitar 10 anak," kata Amar.

    Seluruh siswa yang belajar di SLB Krida Wiyata tidak dipungut biaya sama sekali. Bahkan sepekan sekali, salah satu dari guru memberikan makanan bagi anak-anak itu.

    Untuk tenaga pengajar di SLB Krida Wiyata, kata dia, pada awal berdirinya ada belasan guru yang mendaftar. Namun, setelah dijelaskan kalau guru di SLB ini tidak digaji karena memang tidak ada uang untuk menggaji, satu per satu guru yang mendaftar mengundurkan diri. Dan kini hanya ada empat guru yang berkomitmen untuk mendidik anak-anak difabel itu tanpa digaji.

    "Hanya empat pengajar yang kami miliki," kata dia.

    Amar berharap dirinya beserta pengajar lainnya bisa komitmen dan konsisten untuk mendidik anak-anak difabel tersebut. Selain itu, dia juga terus mencari dana untuk mendirikan ruang kelas sendiri supaya anak-anak bisa tenang dalam belajar.



    Editor : Rohmah Ermawati

    Get the amazing news right in your inbox

    Berita Terpopuler

    0 Komentar

    Belum ada komentar, jadilah yang pertama untuk menanggapi berita ini.

    Komentar Ditutup.