SEJARAH MADIUN : Inilah Kisah Dewi Mazu di Altar Utama Kelenteng Hwie Ing Kiong Madiun

SEJARAH MADIUN : Inilah Kisah Dewi Mazu di Altar Utama Kelenteng Hwie Ing Kiong Madiun Pagoda Kelenteng Hwie Ing Kiong Madiun, Jl. HOS Cokroamitono, No. 63, Kelurahan Kejuron, Kecamatan Taman, Kota Madiun, Jawa Timur (Jatim), Selasa (5/1/2016). (Irawan Sapto Adhi/JIBI/Madiunpos.com)

    Sejarah Madiun mengungkap keberadaan Kelenteng Hwie Ing Kiong Madiun yang memilili altar utama berisi rupang atau arca Dewi Mazu.

    Madiunpos.com, MADIUN — Rupang atau arca Dewi Mazu Tian Shang Mu menempati altar utama di Kelenteng Hwie Ing Kiong Madiun, Jl. H.O.S. Cokroaminoto No. 63, Kelurahan Kejuron, Kecamatan Taman, Kota Madiun, Jawa Timur (Jatim). Mazu menjadi dewi tuan rumah di Kelenteng tersebut.

    Kepala Tata Usaha (TU) Kelenteng Hwie Inh Kiong Madiun, Erfan, menyampaikan kebaikan Yang Mulia Mazu Tian Shang Sheng Mu begitu dikagumi masyarakat. Atas kebaikan Dewi Mazu, lanjut dia, masyarakat melakukan ibadah dengan menghormati atau menyatakan syukur kepadanya.

    Dalam penelusuran Madiunpos.com, Mazu atau Ma Cou dalam mitologi Tiongkok dianggap sebagai Dewi Samudera. Sebagai Dewi Samudera, Mazu dipuja dengan harapan memberikan keselamatan, utamanaya kala penganutnya merantau menyeberangi lautan.

    Begitu besar penghormatan penganut Mezu, menurut Erfa, sampai-sampai sebagian masyarakat yang bermigrasi akan membawa rupang atau arca Dewi Mazu ke daerah tujuan. "Hal tersebut juga yang melatarbelakangi keberadaan rupang Yang Mulia Mazu Tian Shang Mu pertama kali di Madiun. Rupang Dewi Mazu yang  dikabarkan asli didatangkan dari Provinsi Fujian ratusan tahun lalu tersebut mula-mula berada di sebuah kuil yang berada di sebelah timur Sungai Bengawan Madiun, sebelum dipindahkan ke sini [Kelenteng Hwie Inh Kiong Madiun]," kata Erfan saat berbincang dengan Madiunpos.com, Selasa (5/1/2015).

    Pil Anugerah
    Berdasarkan catatan sejarah yang disimpan Kelenteng Hwie Inh Kiong Madiun, Mazu lahir dengan nama Lin Mo dalam keluarga pejabat kabupaten di Provinsi Fujian, yakni pasangan Lin Wei Que dan Wang. Mazu merupakan keturunan ke-22 dari Raja Jin An yang bernama Lin Lu.

    Menurut Erfan, jemaat Kelenteng Hwie Inh Kiong Madiun yakin kelahiran Dewi Mazu tidak terlepas dari campur tangan Dewi Kwan Im (Guan Yin Pu Sa) yang datang ke dalam mimpi Wang untuk memberikan sebuah pil. "Keluargamu banyak melakukan kebajikan terhadap orang lain, maka aku akan memberimu pil, setelah menelannya maka engkau akan mendapatkan anugerah untuk beramal," ujar Erfan mencoba menirukan perkataan Dewu Kwan Im saat bertemu Wang di dalam mimpi. Tidak lama setelah mengonsumsi pil, menurut Erfan, Wang kemudian hamil.

    Erfan menjelaskan pada tanggal 23 bulan ke-3 (Yinli) tahun 960 M, Wang menyaksikan cahaya merah datang dari barat laut mengarah ke dalam rumahnya. Selain itu, lanjut dia, Wang mendengar suara gemuruh seperti halilintar di sekitar rumah dan melihat tanah berubah warna menjadi ungu.

    Pada waktu bersamaan, Wang kisah Erfan, merasakan sakit perut dan tidak lama berselang lahirlah Mazu. Berdasarkan informasi yang dia peroleh, Erfan menyebut kelahiran Dewi Mazu memili keanehan karena tidak pernah menangis hingga usia sebulan.

    "Oleh karena itu, Ayah bayi Mazu memberikan nama Mo yang berarti diam atau senyap. Lin Mo atau Mazu memiliki seorang kakak lelaki dan lima kakak perempuan. Pada usia delapan tahun, Mazu mengikuti sekolah privat. Semua pelajaran yang diberikan guru dengan mudah dicerna Mazu. Pada sekitar usia 10 tahun, Mazu menganut ajaran Buddha. Siang malam Mazu selalu sembahyang dan nianjing atau niamkem," papar Erfan.

    Dididik Pendeta Tao
    Pada usia 13 tahun, lanjut Erfan, Mazu bertemu dengan seorang pendeta Tao bernama Xuan Tong. Pendeta tersebut sering datang ke rumah Mazu. Pada suatu ketika dia mulai memberitahukan bahwa Mazu merupakan titisan dewa dan layak mendapatkan jalan kebenaran. Sang Pendeta Tao pun kemudian mengajarkan Mazu ilmu Xuan Wei Mi Fa.

    Mazu yang belajar dengan tekun akhirnya mampu mempelajari dengan baik semua dasar pelajaran dari Pendeta Tao. Ketika berusia 16 tahun, Mazu bersama-sama dengan teman-teman wanita pergi bermain. Saat berada di dekat sumur, dia bercermin di atas permukaan air untuk bersolek. Tidak disangka, tiba-tiba dari dalam sumur muncul sesosok dewa membawa sepasang fu yang terbuat dari tembaga. Sang dewa yang datang bersama para dewi-dewi tersebut lantas memberikan fu tembaga itu kepada Mazu.

    Sementara teman-teman Mazu kabur ketakutan menyaksikan kehadiran sosok dewa dan dewi-dewi itu, Mazu tanpa perasaan ragu menerima pemberian sang dewa. "Tak lama berselang, terjadi perubahan dalam diri Mazu.

    Meski raganya berada dalam suatu ruangan, namun batin jiwa Mazu sering berkeliling di luar. Mazu bahkan dapat membicarakan nasib orang dengan tepat.

    Mazu juga mampu datang dan pergi dengan terbang mengendarai awan melintasi lautan untuk meyelamatkan kapal yang karam, membawa obat-obatan, dan menangkal bencana. Orang-orang dari dekat maupun jauh sangat berterimaksih kepada Mazu hingga mereka memanggilnyabdengan sebutan Dewata Perempuan atau Naga Perempuan," jelas Erfan.

    Dihormati Lautan
    Pada kesempatan lain, saat Mazu yang masih berusia 16 tahun asyik menenun. Ia tiba-tiba saja terungkup di mesin tenun. Mata Mazu lantas terpejam, salah satu tangannya seakan sedang memegang sesuatu dan tangan lainnya membopong seseorang. Kedua kaki Mazu menginjak kuat alat tenun seakan melakukan perjuangan gigih, tidak ingin perjuangannya gagal.

    Mengetahui kondisi Mazu seperti itu, sang ibu, Wang, yang amat panik mencoba membangunkannya. Mazu yang terbangun langsung menangis dan berteriak kepada ibunya.

    "Mazu berteriak mengabarkan kondisi ayahnya yang selamat, namun kakaknya tewas tenggelam. Tak lama kemudian ada orang yang memberi kabar bahwa apa yang dikatakan Mazu tersebut benar. Sewaktu Mazu memejamkan mata, yang diinjak adalah kapal ayahnya dan yang dipegang adalah kemudi kapal kakaknya. Ketika sang ibu membangunkan Mazu, sekoci alat tenunnya terjatuh di lantai menunjukkan kapal kakaknya hancur," jelas Erfan.

    Setelah kejadian itu, Mazu bersama ibu dan kakak ipar serta penduduk desa berupaya mencari jenazah sang kakak. Setibanya di pantai, gelombang laut begitu besar dan tiba-tiba muncul segerombolan binatang laut hingga membuat orang-orang ketakutan.

    Menurut Erfan, Mazu lantas meminta kepada semua orang di pantai untuk tidak takut dengan kahadiran segerombolan binatang laut. Mazu juga langsung berbicara kepada gerombolan binatang laut itu agar tidak perlu menyambut kedatangannya.

    "Kemudian setelah itu suasana berubah, air laut menjadi jernih dan tampak begitu jelas. Jasad kakak Mazu terlihat terapung di permukaan laut. Belakangan, penduduk baru menyadari bahwa Mazu atau Dewi Lautlah yang telah menolong mereka menemukan jasad sang kakak hingga bisa dibawa pulang. Sejak saat itu, penduduk Pulau Meizhou memuji amal bakti Mozu. Setiap kali Mozu berulang tahun, bahkan pada tengah malam di lautan selalu ada sekelompok ikan mengeluarkan suara keras seraya menari hingga menjelang matahari terbit," jelas Erfan.

    Itulah sebabnya, menurut Erfan, penganut kepercayaan taoisme, buddhisme, dan konfusianisme bersembahyang kepada rupang Dewi Mazu, di samping dewa-dewi lainnya. Sembahyang itu, menurut dia sebenarnya bukan semata-mata untuk meminta atau memohon sesuatu, namun lebih kepada penghormatan atas perjuangan tokoh-tokoh tersebut agar menjadi panutan selama hidup.

     

    KLIK dan LIKE di sini untuk lebih banyak berita Madiun Raya
    KLIK di sini untuk mengintip Kabar Sragen Terlengkap



    Editor : Rahmat Wibisono

    Get the amazing news right in your inbox

    Berita Terpopuler

    0 Komentar

    Belum ada komentar, jadilah yang pertama untuk menanggapi berita ini.

    Komentar Ditutup.