KISAH UNIK : Ingin Mandiri, Guru Madin di Ponorogo Tinggali Bekas Kandang Sapi

KISAH UNIK : Ingin Mandiri, Guru Madin di Ponorogo Tinggali Bekas Kandang Sapi Keluarga Ahmad Sutomo dan Dwi Ayu Suciati tinggal di rumah bekas kandang sapi di Desa Sendang, Kecamatan Jambon, Ponorogo, Selasa (18/7/2017). (Abdul Jalil/JIBI/Madiunpos.com)

    Kisah unik, guru madrasah diniyah tinggal di rumah bekas kandang sapi di Ponorogo.

    Madiunpos.com, PONOROGO — Hidup di bekas kandang sapi tidak pernah terbayangkan sebelumnya oleh pasangan muda Ahmad Sutomo dan Dwi Ayu Suciati. Namun, kondisi hidup dan perekonomian memaksa mereka untuk tinggal di gubuk sangat sederhana yang sebelumnya digunakan untuk kandang sapi.

    Rumah Ahmad Sutomo dan Dwi Ayu Suciati berada di RT 001/RW 002, Dusun Krajan, Desa Sendang, Kecamatan Jambon, Ponorogo. Pasangan yang menikah pada tahun 2012 itu sudah dikaruniai dua anak yaitu Muhammad Kholil Yusuf, 4, dan Hinata yang berusia dua tahun.

    Rumah Sutomo berada di belakang persis rumah orang tuanya dengan posisi agak tersembunyi karena terhalang pohon pisang. Rumah yang memiliki luas 6 meter X 5 meter itu terlihat sangat sederhana dan ketinggian lantai dan atap hanya sekitar lima meter.

    Rumah tersebut 100% terbuat dari kayu dan bambu serta dindingnya juga terbuat dari anyaman bambu. Tiang rumah yang terbuat dari bambu itu juga sudah terlihat usang karena faktor usia. Lantai rumah hanya berupa tanah yang tak rata. Sebelumnya, rumah itu adalah kandang sapi milik keluarga.

    Rumah itu hanya terdiri dari satu ruangan dengan perabotan rumah tangga yang menumpuk jadi satu. Ada salah satu ruang yang hanya disekat dengan kain yang sudah usang. Di ruang bersekat kain itu ada kasur tipis yang biasa digunakan beristirahat keluarga kecil itu.

    Saat siang hari, rumah tersebut terang karena sinar matahari tembus melalui celah rumah. Saat malam, penghuni rumah kerap menggigil kedinginan karena angin bebas keluar masuk rumah yang hanya berdinding anyaman bambu tipi situ.

    “Ya begini Mas kondisi rumah saya. Kalau hujan pasti banyak air yang masuk ke dalam rumah, biasanya sampai becek,” ujar Sutomo saat dikunjungi Madiunpos.com, Selasa (18/7/2017).

    Pria berusia 41 tahun ini menuturkan sudah dua tahun terakhir tinggal di rumah bekas kandang sapi ini. Sebelumnya, ia beserta anak dan istrinya tinggal bersama dengan keluarga.

    Setelah mempertimbangkan banyak hal dan keinginan hidup mandiri, kata pria yang bekerja sebagai buruh serabutan itu, ia bersama istri memutuskan untuk pindah. Tetapi, kepindahan itu juga tidak mudah karena saat itu belum memiliki pandangan untuk tempat tinggal.

    Sebagai buruh serabutan yang berpenghasilan Rp55.000 per hari, Sutomo mengaku tidak memiliki cukup uang untuk mengontrak apalagi membeli rumah. Setelah bercerita dengan keluarga, akhirnya kandang sapi milik keluarga dihibahkan untuk tempat tinggalnya.

    Singkat cerita, Sutomo kemudian memindah sapi-sapi milik tetangga yang dirawat orang tuanya itu ke samping rumah. Tanah yang penuh dengan kotoran sapi itu kemudian ditutup dengan tanah urug. Dengan modal Rp100.000, ia meminta bantuan teman dan kerabatnya untuk membantu membenahi kandang sapi itu supaya lebih manusiawi untuk ditempati.

    “Saya meminta bantuan teman-teman dekat untuk memperbaiki rumah ini, ya dengan gotong royong. Karena saat itu saya hanya punya uang Rp100.000, itu untuk makan dan membeli jajanan,” jelas dia.

    Guru Madrasah Diniyah

    Setelah kandang sapi itu disulap menjadi tempat tinggal manusia, ia bersama istri serta anaknya pun boyongan ke rumah baru itu. Meski sangat sederhana, ia mengaku lebih tenteram dan lega karena bisa hidup mandiri bersama dengan keluarga kecilnya.

    Meski hidup dengan perekonomian serba terbatas, Sutomo ternyata dipercaya pengurus Pondok Pesantren Mambaul Huda di Desa Sendang menjadi salah satu pengajar di madrasah diniyah di pondok pesantren itu. Dia tidak mendapat gaji tetap, hanya bisyaroh atau imbalan berupa parcel Lebaran yang setiap Hari Raya diberikan oleh pengurus pondok.

    Di Madin Mambaul Huda itu, ia dipercaya memberi ilmu agama kepada santri-santri. Ia biasanya mengkaji ilmu tajwid, fiqh, akhlak, tauhid, tareh nabi, dan ilmu agama Islam lainnya. “Saya sangat senang diberi jam mengajar di pondok pesantren itu,” kata dia.

    Pria lulusan sekolah dasar dan melanjutkan belajar ilmu agama di pondok pesantren itu mengaku sangat beruntung bisa menularkan ilmunya kepada masyarakat dan santri. Bagi dia, menularkan ilmu agama merupakan bentuk jihad fisabilillah.

    “Orang berilmu itu seperti pohon, punya ilmu tetapi tidak diamalkan itu seperti pohon tanpa buah, begitupun sebaliknya,” kata dia menyebutkan prinsip yang selalu dipegang dalam mengajar.

    Dwi Ayu Suciati menambahkan hanya bisa membantu perekonomian keluarga dengan berjualan jajanan anak-anak di sekolah-sekolah. Ia pun menerima dengan ikhlas kondisi perekonomian keluarga yang saat ini dilakoninya.

    Saat mengetahui akan hidup di bekas kandang sapi, warga asal Pekalongan, Jawa Tengah, ini mengaku tidak kaget dan bisa menerimanya. “Bagi saya, yang penting hidup mandiri. ada atau tidak adanya nasi, kita tanggung bersama dan tidak merepotkan orang lain,” kata dia.

    Dwi mengaku sangat mendukung kegiatan suaminya yang mengajar di Ponpes Mambaul Huda meski tanpa ada gaji. Bagi dia, itu merupakan wujud pengabdian terhadap masyarakat.

    “Saya berharap suatau saat nasib akan berubah, minimal bisa membenahi genteng yang bocor dan membuat rumah supaya lebih layak untuk ditinggali,” harap perempuan berusia 24 tahun itu.



    Editor : Rohmah Ermawati

    Get the amazing news right in your inbox

    Berita Terpopuler

    0 Komentar

    Belum ada komentar, jadilah yang pertama untuk menanggapi berita ini.

    Komentar Ditutup.