CUKAI TEMBAKAU : Pabrik Rokok Kecil Tergencet Cukai Rokok, Peredaran Rokok Ilegal Marak

CUKAI TEMBAKAU : Pabrik Rokok Kecil Tergencet Cukai Rokok, Peredaran Rokok Ilegal Marak Ilustrasi rokok ilegal tanpa cukai cukup (JIBI/Solopos/Antara)

    Cukai tembakau yang tarifnya disusun tidak ideal oleh pemerintah dituding Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi) sebagai pemicu maraknya peredaran rokok ilegal yang merugikan negara.

    Madiunpos.com, MALANG — Perubahan regulasi cukai tembakau meningkatkan tingkat persaingan perusahaan pengolah tembakau. Tergencetnya pabrik rokok (PR) kecil oleh regulasi baru cukai rokok itu memicu maraknya peredaran rokok ilegal.

    Ketua Harian Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi) Heri Susianto mengatakan pabrik rokok kecil cenderung kalah dalam memperebutkan pasar sebagai dampak regulasi dan tarif-tarif yang memberatkan mereka. Dengan semakin tidak kompetitif produksi PR sigaret kretek mesin (SKM), maka pilihannya beralih memproduksi rokok ilegal.

    “Dampaknya PR produsen SKM golongan IIB makin terpukul,” ujarnya, Jumat (4/9/2015).

    Diberitakan sebelumnya, Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea Cukai Tipe Madya Kudus Jawa Tengah menyita 511.780 batang rokok ilegal jenis SKM di Kab. Jepara. Menurut Heri, data terakhir angka peredaran rokok ilegal sudah mencapai 11% dari total produksi 360 miliar pada 2014.

    Akan Terus Tambah
    Dengan makin tergencetnya PR golongan IIB akibat regulasi baru cukai rokok, maka produksi rokok ilegal akan terus bertambah sehingga merugikan negara karena kehilangan pendapatan dari cukai rokok. “Yang berhadapan dengan PR ilegal kan PR kecil, bukan PR besar,” ujarnya.

    Karena itulah, kata dia, struktur tarif cukai tembakau perlu diubah agar PR kecil produsen SKM bisa tetap eksis dan kompetitif. Tarif yang ideal sehingga dapat member ruang hidup bagi PR kecil itu adalah dengan menambah golongan menjadi tiga golongan.

    PR kecil, menurut dia idealnya dimasukan golongan III dengan tarif cukai yang jauh lebih rendah daripada golongan di atasnya. Sedangkan produsen rokok besar dikenakan tarif cukai super strata. Artinya, semakin besar produksinya maka akan semakin tinggi pula nilai cukainya.

    Secara sederhana, penggolongan PR produsen SKM menjadi golongan III dengan produksi antara 0-2 miliar batang per tahun, golongan II 2-5 miliar batang per tahun, dan golongan I 5 miliar ke atas batang per tahun. Dengan cara itu, maka PR golongan III masih berpeluang eksis di tengah persaingan industri yang sangat ketat.

    Perketat Selisih Harga
    Eksisnya PR golongan III, kata Heri, pada gilirannya mampu membendung peredaran rokok ilegal sehingga bisa terus berkurang. Hal itu bisa terjadi karena selisih harga antara rokok ilegal dan rokok yang diproduksi PR golongan III tidak terlalu terpaut jauh.

    Dengan tipisnya selisih harga, maka persaingan di pasar akan dimenangkan rokok yang diproduksi PR golongan III. Hal itu terjadi karena peredaran rokok ilegal lebih leluasa, tanpa ada halangan akan ditindak aparat penegak hukum. “Di sisi lain, Bea Cukai juga diharapkan berperan aktif dalam mengawasi peredaran rokok ilegal dan menindak tegas pelakunya,” ujarnya.

    Dengan penggolongan industri rokok sepert itu, maka penerimaan negara akan meningkat drastis. Target-target pemerintah yang setiap selalu naik akan dapat tercapai. “Kalau pemerintah justru mengejar-ngejar PR kecil, tidak efektif karena kontribusinya dalam penerimaan cukai sangat kecil, hanya sekitar 6%,” ujarnya.



    Editor : Rahmat Wibisono

    Get the amazing news right in your inbox

    Berita Terpopuler

    0 Komentar

    Belum ada komentar, jadilah yang pertama untuk menanggapi berita ini.

    Komentar Ditutup.